Minggu 10
Pertanyaan
1.
Sebutkan langkah-langkah
perusahaan dalam merekrut karyawan / pegawai?
2.
Sebutkan apa yang dimaksud
dengan out sourching dan bagaimana perkembangannya di Indonesia ?
3.
Sebutkan hukum-hukum yang
mengatur hubungan antara tenaga kerja dan manajer?
Jawaban
1. Langkah-langkah Merekrut
Karyawan
Umumnya, para pengusaha pasti akan menyebarkan informasi bahwa
bisnis yang sedang dijalankannya sedang membutuhkan tenaga tambahan. Menjaring
wajah baru bisa melalui beragam cara. Contohnya, melalui iklan, perusahaan
pencari tenaga kerja, lembaga pendidikan, organisasi buruh, dan sebagainya.
Perusahaan juga memilih lebih dari satu metode, tergantung dari situasi dan
kondisi yang terjadi saat itu.
Dengan pertimbangan tertentu, beberapa pengusaha mengaku lebih suka
mengambil tenaga kerja dari lingkungan sekitar mereka. Salah satu
pertimbangannya, lokasi dan keamanan perusahaan. Jika karyawan bermukim di
belasan bahkan puluhan kilometer dari tempatnya bekerja, tentu saja akan
menggerus upah untuk ongkos transportasi. Apalagi perusahaan yang buka 24 jam
dan menerapkan sistem kerja berdasarkan shift, bila tidak didukung oleh tenaga
kerja dari lingkungan sekitar tentu akan kerepotan saat mereka bekerja di shift
malam.
Beberapa pengusaha juga mencari karyawan hasil rekomendasi dari
sahabat dan kerabat terdekat. Informasi dari mulut ke mulut, juga biasanya
lebih tepat sasaran, karena kualitas dan kriteria sudah terbukti dan ada
penjamin dari si pemberi rekomendasi. Sebab, mau tak mau si pemberi rekomendasi
ikut bertanggung jawab dengan kinerja si pekerja. Selain itu, ongkosnya lebih
ngirit, karena tidak mengeluarkan biaya untuk beriklan di koran.
Menentukan Kriteria
Banyak pengusaha UKM yang tak mengharuskan karyawannya mengantongi
ijazah perguruan tinggi. Siapapun orangnya, asal punya keistimewaan dan
keterampilan di bidangnya, bekerja bagus, mau belajar, jujur, dan loyal itu
sudah cukup. Yang diutamakan keahlian ketimbang pendidikan formal.
Karakter karyawan juga perlu. Persoalan karakter ini jadi penting,
terutama untuk pekerjaan yang berhubungan dengan uang. Misalnya, untuk bagian
penagihan atau keuangan. Jika si karyawan tukang tilap, tagihan bisa “hilang
mendadak” karena duitnya dipakai duluan.
Bagi pengusaha di bidang pelayanan atau jasa seperti bengkel motor
mobil, selain keterampilan, prestasi di bangku sekolah juga menjadi ukuran.
Biasanya dicari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK yang dulu bernama STM).
Selain itu, calon karyawan juga melalui tes psikologi, tes IQ, tes teknis, dan
tes wawancara.
Merencanakan Pelatihan
Setelah mendapat karyawan baru, yang harus dipikirkan kemudian ialah
melatihnya. Ada yang menyebutnya sebagai masa magang karyawan, atau masa
kontrak. Tujuannya untuk mengenalkan dan memahamkan karyawan baru terhadap
bidang yang akan mereka geluti. Kendati penting, sejumlah perusahaan meniadakan
kegiatan ini.
Bagi pengusaha, pelatihan ini bisa menjadi titik awal menilai
kinerja karyawan. Umumnya, ada eveluasi di setiap periode tertentu. Pengusaha
berhak menilai perilaku, tanggung jawab, penghargaan terhadap pekerjaan,
absensi, dan kompetensi. Jika sesuai dengan standar, artinya karyawan berhak
untuk tinggal di perusahaan tersebut. Sebaliknya, calon karyawan harus rela
cabut karena dinyatakan tidak lulus.
Menurut pengalaman para pengusaha, tak sulit menentukan si karyawan
anyar berhak menjadi karyawan tetap atau tidak. Kita cukup melihat performa
selama enam bulan hingga satu tahun. Jika selama menjalani masa percobaan si
calon karyawan tersebut tidak pernah mendapat peringatan, teguran, atau tidak
melakukan kesalahan, berarti si pengusaha tidak salah pilih orang.
2.
Pengertian Out Sourching
Out sourching merupakan trend untuk mengatasi persoalan-persoalan
bisnis yang dihadapi saat ini (Beaumont dan Sohal 2004). Beberapa definisi out
sourching yang telah dikembangkan oleh para ahli, diantaranya :
1)
Outsourching adalah tindakan
memindahkan bebebrapa aktifitas rutin internal perusahaan, termasuk dalam hal
pengambilan keputusan kepada pihak lain yang diatur oleh kontrak perjanjian
(Maurice F. Greaver II, 1999)
2)
Outsourching adalah pemindahan
tanggung jawab manajemen kepada pihak ketiga secara berkesinambungan di dalam
menyediakan layanan yang diatur oleh perjanjian (Shreeveport management
Consultancy)
3)
Outsourching adalah kontrak
dengan pihak lain (diluar perusahaan)
terhadap fungsi, tugas atau layanan organisasi dalam rangka mengurangi beban
proses, memperoleh keahlian teknis maupun penghematan biaya (Eugene Garaventa,
Thomas Tellefsen, 2001)
4)
Outsourching adalah aktivitas
dimana supplier (pihak pemasok / vendor ) menyediakan barang dan / atau layanan
kepada buyer (pihak perusahaan) berdasarkan perjanjian yang telah disepakati
(Elfing dan Baven, 1994; Domberger, 1998)
Dari keempat definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa outsourching adalah pendelegasiasn operasi atau pekerjaan
yang bukan inti (non-core) yang semula dilakukan secara internal kepada pihak
eksternal yang memiliki spesialisasi untuk melakukan operasi tersebut (sharing
vision, 2006).
Perkembangan
Out Sourching di Indonesia
Praktik dan prinsip-prinsip outsourcing sebenarnya bukan hal baru.
Sejarah mencatat outsourcing telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi. Pada
zaman tersebut, akibat kekurangan dan kemampuan pasukan dan tidak terkendalinya
ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk
berperang dan para ahli-ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.
Sejalan dengan adanya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan
berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan.
Pada tahap ini untuk mengerjakan sesuatu tidak cukup untuk menang secara
kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan untuk menciptakan
produk paling bermutu dengan biaya terendah.
Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris merekrut serdadu Gurkha
yang terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950,
Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk
keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan
multinasional sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan
fokus terhadap bisnis mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling
berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis,
dalam berbagai skala, menerapkan praktek outsourcing dalam menjalankan usaha.
Dikarenakan adanya pasar global dan godaan tenaga kerja murah, dunia
industri manufaktur mengalami peningkatan tenaga kerja pada dekade 1980-an.
Pada tahun-tahun berikutnya, praktek outsourcing didorong oleh satu dari
sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus yang mengindikasikan bahwa
pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat investasi.
Secara sederhana berarti, tenaga kerja hanya dijadikan sebuah fungsi produksi
yang bersifat variabel. Ketika produksi meningkat, jumlah pekerja ikut
terangkat, namun ketika produksi menurun, pekerja harus dikurangi.
Outsourcing Zaman Belanda
Di Indonesia Sendiri perkembangan outsourcing dibagi ke dalam dua
masa, yaitu zaman pra-kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan. Pada mas
pra-kemerdekaan (penjajahan) dikenal danya Deli Planters Vereeniging. Pada masa
ini, outsourcing diperkenalkan seiring maraknya sistem tanam paksa (monokultur)
seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879. pemerintah kolonial Hindia
Belanda membuat program besar-besaran dalam upaya menghasilkan barang-barang
devisa di pasar internasional. Salah satu upayanya adalah membuka investasi di
sektor perkebunan di daerah Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur
Jendral Hindia Belanda dalam peraturan No. 138 tentang Koeli Ordonantie.
Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan
Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.
Peraturan tersebut dikeluarkan untuk menciptakan iklim investasi
yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Regulasi
ini kemudian mampu mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli
sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan yang mengatur tentang ketentuan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879
dibentuklah organisasi yang diberi nama Deli Planters Vereeniging. Organisasi
tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah.
Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro
pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran
terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah, para
Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum Bumiputra
meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian
diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib menandatangani perjanjian
kontrak yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie. Orang jawa saat itu
tepat untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena sifat yang mudah mengalah dan
mudah diajak kompromi. Pada zaman ini, konon justru si pelaksana lebih berkuasa
dari pada si pemilik investasi.
Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para kuli orang Jawa
tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung jawab atas disiplin
kerja. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah
para kuli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik perkebunan
menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor
ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi
oleh asisten pengawas. Para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada
administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur bertanggungjawab
kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu.
Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para
kuli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala. Mereka
ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli. Begitu
berkuasanya sehingga para kuli jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya
bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan
menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.
Pemerasan yang dialami oleh para kuli bukan hanya dari pemerasan
langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo dan
tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan pemerasan.
Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang seperti biaya transportasi dari
Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan
upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para
kuli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.
Selain di perkebunan, pada masa pendudukan Belanda sekitar Abad XIX,
sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh pelabuhan di
Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, aktivis Institut
Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut
oleh kelompok buruh yang disebut sebagai animer. Oleh para animer, tenaga
kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat. Secara getok-tular, dari
mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten, Cianjur, mereka
berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi pertanian tidak
lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana bisa
memperoleh uang dari upah memburuh.
Outsourcing Masa Kemerdekaan
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2003, outsourcing
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b. Pasal tersebut mengatur bahwa
pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang saling
mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak yang saling
mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak
lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih
belum lengkap karena belum diatur terkait pekerjaan yang dapat
dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja
outsourcing dan jenis perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja
outsourcing.
Sedangkan setelah UU No 13/2003, berdasarkan hasil penelitian PPM
(Riset Manajemen: 2008) terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat
lebih dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsourcing, yaitu
sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsourcing
dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menunjukkan perkembangan
outsourcing di Indonesia begitu pesat Perkembangan outsourcing ini didorong
dengan adanya Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,
dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan
produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu
sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain
harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah
ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada
perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja,
harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan
lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari
perusahaan penyalur. Hubungan sebab akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil
yang dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa
lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja
sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar
management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia
memperoleh kucuran upah. Selain hal di atas, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenaga kerjaan jelas diatur bahwa adanya perusahaan penyedia
tenaga kerja outsourcing, yang berbentuk badan hukum, dan bertanggung jawab
atas hak-hak tenaga kerja. Selain itu, diatur juga bahwa hanya pekerjaan
penunjang saja yang dapat di outsourcingkan.
3.
Hubungan antara tenaga kerja
dengan manajer memiliki ketetapan tertentu, atau yang biasa disebut dengan
hukum. Hukum yang mengatur hubungan tenaga kerja dengan manajer adalah sebagai
berikut:
a.
Closed Shop Agreement
Hukum yang hanya berlaku bagi pekerja
yang telah bergabung menjadi anggota serikat (persatuan) dan tidak menyangkut
pekerja yang belum menjadi anggota.
b.
Union shop Agreement
Hukum yang mewajibkan para pekerja
untuk menjadi anggota serikat untuk suatu kurun waktu terentu sampai pada masa
tertentu.
c.
Open Shop Agreement
Hukum yang memberikan kebebasan,
memberikan pilihan kepada pekerja untuk menjadi atau tidak anggota serikat
kerja. Jadi tidak ada suatu paksaan dan keharusan untuk menjadi anggota
perserikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar